Kobaran api biru yang dinyalakan Rosipul nyaris menjilat alas teko aluminium tanpa meninggalkan jelaga.
Setelah air dalam teko mendidih, ia menuangkannya ke empat cangkir sambil mengaduk kopi. Asap tipis mengepul, menguar aroma kopi hitam pekat yang menyambut para tamu pagi itu.
“Silakan, mas, kopinya,” ujar Rosipul Akli, Ketua Kelompok Ternak Tirto Sari Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Ada sesuatu yang unik sekaligus mengagumkan dari pemandangan pagi itu. Kompor yang digunakan Akli menyala stabil dengan api biru sempurna, persis seperti kompor LPG.
Namun, di sekitarnya tak tampak tabung gas biru atau hijau melon. Hanya ada selang kecil yang menjulur dari balik dinding papan, terhubung ke sebuah instalasi tak jauh dari kandang sapi komunal.
Api itu ternyata bukan berasal dari fosil bumi, melainkan dari proses lebih organik: sisa pencernaan puluhan sapi yang dipelihara kelompoknya.
Itulah biogas, jawaban sederhana dari komunitas peternak di Kelurahan Wonotirto, Kecamatan Samboja, di tengah isu krisis energi dan mahalnya harga LPG.
Bagi Akli dan rekan rekannya, transisi energi terbarukan bukan sekadar wacana seminar atau tajuk berita koran ibu kota. Ia adalah kenyataan sehari-hari: kotoran sapi berubah menjadi api biru di dapur dan pupuk subur untuk tanaman.
Syaratnya sederhana: warga penerima harus memiliki minimal tiga sapi untuk memastikan pasokan kotoran sebagai bahan bakar tetap berkelanjutan.
Langkah ini mengubah tumpukan kotoran yang semula menjadi masalah komunal menjadi solusi rumah tangga.
“Sangat terbantu. Warga merasa sangat terbantu,” kata Akli.
Satu unit reaktor berkapasitas empat meter kubik bahkan bisa dimodifikasi. Dengan sistem paralel menggunakan selang tambahan, satu reaktor bisa memenuhi kebutuhan memasak tiga hingga empat rumah tangga.
Di saat banyak orang pusing karena kelangkaan atau kenaikan harga LPG, warga binaan Kelompok Tirto Sari tinggal melangkah ke belakang rumah, mencampur kotoran sapi dengan air, dan memasukkannya ke reaktor.
“Kami di sini enggak pernah bingung soal LPG,” ujar Akli sambil tersenyum.
Manfaat biogas tak berhenti di dapur. Ia menciptakan sebuah lingkaran ekonomi sekaligus ekologi.
Proses dekomposisi anaerobik dalam reaktor menghasilkan dua produk sampingan yang tak kalah berharga: pupuk organik cair (POC) dan ampas padat (slurry) yang menjadi pupuk berkualitas tinggi.
“POC-nya kami gunakan langsung untuk tanaman cabai di sekitar sini. Hasilnya bagus,” tutur Akli sambil menunjuk kebun kecil dekat kandang.
Limbah cair dari reaktor dialirkan untuk menyirami tanah sekitar tanaman.
Kesuburannya bahkan terbukti pada tanaman jambu air milik salah satu anggota kelompok. “Sudah tidak pakai pupuk kimia lagi. Setiap hari disiram pakai itu [POC]. Jambunya berbuah terus, tidak kenal musim,” tambahnya.
Sementara itu, ampas padat yang sudah tidak berbau dikeringkan menjadi kohe kering. Meski pengolahannya belum maksimal karena keterbatasan alat, kohe kering ini sudah menjadi primadona di lingkungan sekitar.
Para pegiat tanaman obat keluarga (Toga) atau ibu ibu yang hobi berkebun sering datang untuk mengambilnya.
“Kalau mau ambil sendiri, saya kasih gratis. Tapi kalau minta diantarkan, ada ongkos sedikit,” selorohnya.
Dari perut sapi lahir energi untuk memasak. Dari sisa energi itu muncul pupuk untuk menyuburkan tanah. Dari tanah subur lahirlah pangan. Sebuah siklus mandiri yang berjalan senyap di sudut Samboja.
Inisiatif ini tak luput dari perhatian pemerintah daerah. Program mereka terintegrasi dengan Pengembangan Desa Koperasi Ternak (PDKT) dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kaltim.
Puncaknya, pada 2024, Koperasi Tirto Agro Nusantara—hasil gabungan dua kelompok ternak termasuk Tirto Sari—berhasil meraih juara pertama lomba PDKT se-Kalimantan Timur. Penghargaan diserahkan oleh Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji.
Pangan dan Energi Terbarukan
Program transisi energi Dinas ESDM Kaltim sejak 2012–2024 telah membangun 575 unit reaktor biogas rumah tangga, mengubah limbah ternak menjadi energi bersih.
“Pengembangan biogas ini telah berlangsung sejak 2012,” ungkap Elly Luchritia Nova, Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Dinas ESDM Kaltim.
Program kolaboratif dengan Dinas Peternakan ini menyasar langsung kebutuhan masyarakat. Setiap rumah tangga peserta mendapatkan reaktor biogas, kompor, dan alat penanak nasi khusus. Cukup dengan tiga sapi, keluarga bisa menghasilkan gas metana untuk memasak sehari hari.
“Selama sapi masih ada, gas terus tersedia. Ini sangat membantu,” kata Elly. Selain menggantikan LPG, limbah biogas berupa slurry juga dimanfaatkan sebagai pupuk organik, menciptakan siklus ekonomi dan pangan terintegrasi.
Keberhasilan ini terlihat di Samboja (Kutai Kartanegara) serta Long Kali dan Long Ikis (Paser), di mana warga mengaku hemat ganda: tidak perlu membeli LPG dan pupuk kimia.
Program ini kini siap naik kelas, dengan rencana pengembangan biogas skala besar di 30 lokasi PDKT, yang gasnya akan disalurkan ke rumah rumah melalui perpipaan atau kantong portabel.
Harapan Kemandirian
Meski terbukti efektif, keberhasilan kompor biogas bergantung pada perawatan rutin karena materialnya rentan korosi jika tidak dibersihkan.
“Kuncinya kembali ke kita lagi, soal perawatannya,” ujar Ketua Kelompok Ternak Tirto Sari, Akli.
Produksi gas dipengaruhi cuaca: panas meningkatkan fermentasi dan gas melimpah, sementara hujan atau mendung menurunkannya. Namun, tantangan ini tak menyurutkan semangat mereka. Keberhasilan 11 reaktor rumah tangga justru memicu mimpi lebih besar.
Kini tengah disiapkan reaktor biogas raksasa berkapasitas 17 meter kubik. Jika reaktor 4 kubik bisa menghidupi 3–4 dapur, reaktor jumbo ini dirancang untuk menghasilkan gas bagi 21 rumah sekaligus listrik untuk penerangan fasilitas kelompok.
“Yang 17 kubik ini nanti bukan cuma untuk api kompor, tapi juga untuk membangkitkan listrik,” ungkap Akli.
Kobaran biru di bawah ceret kopi pagi itu lebih dari sekadar api. Ia melambangkan kemandirian, kerja kolektif, dan harapan bahwa transisi energi bersih bisa dimulai dari hal paling sederhana: kotoran ternak.





