sekilas.co – PASUKAN pemberontak Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Sudan mengumumkan sepakat melaksanakan gencatan senjata kemanusiaan dengan pasukan pemerintah sebagai bagian dari inisiatif yang diusulkan Amerika Serikat, Uni Emirat Arab (UAE), Arab Saudi dan Mesir.
“Untuk menanggapi aspirasi dan kepentingan rakyat Sudan, Pasukan Dukungan Cepat menegaskan kesediaannya untuk memberlakukan gencatan senjata kemanusiaan yang diusulkan negara–negara Quad (Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Kerajaan Arab Saudi, dan Republik Arab Mesir) guna mengatasi konsekuensi kemanusiaan yang sangat parah akibat perang sekaligus memperkuat perlindungan bagi warga sipil,” demikian pernyataan RSF, Kamis seperti dilansir Al Jazeera. Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa sesuai dengan ketentuan kesepakatan, maka bantuan kemanusiaan akan segera didistribusikan.
RSF juga menyampaikan harapan bahwa jika gencatan senjata tercapai, maka akan ada kemungkinan pembahasan untuk menghentikan permusuhan secara total dan prinsip-prinsip dasar proses politik di Sudan untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Belum ada komentar langsung dari militer Sudan.
Sebelumnya pada Kamis, Panglima Angkatan Darat Sudan Abdel Fattah al-Burhan mengatakan pasukannya “berusaha keras untuk mengalahkan musuh”.
“Segera, kami akan membalas dendam atas mereka yang telah terbunuh dan dianiaya … di semua wilayah yang diserang oleh pemberontak,” ujarnya dalam pidato yang disiarkan televisi.
Awal pekan ini, penasihat senior AS untuk urusan Arab dan Afrika, Massad Boulos, mengatakan upaya sedang dilakukan untuk mencapai gencatan senjata dan bahwa pihak-pihak yang bertikai telah “sepakat secara prinsip”.
“Kami belum mencatat adanya keberatan awal dari kedua belah pihak. Kami sekarang fokus pada detail-detail kecilnya,” kata Boulos pada Senin dalam sebuah pernyataan yang dimuat oleh kantor berita Sudan Tribune.
Pada 26 Oktober, kelompok pemberontak itu mengklaim telah menduduki markas Divisi Infanteri ke-6 Angkatan Darat Sudan di Kota Al Fashir setelah 18 bulan bertempur memperebutkan kota itu, yang menjadi benteng utama pemerintah di Darfur Utara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaporkan “pembunuhan tragis lebih dari 460 pasien dan staf medis” di bekas rumah sakit anak–anak selama pengambilalihan kota tersebut.
Salah satu pejabat Sudan menyebutkan bahwa jumlah korban tewas di Kota El Fashir bertambah menjadi 2.200 orang setelah kota itu jatuh ke tangan RSF.
Lebih dari 70.000 orang telah mengungsi dari el-Fasher dan sekitarnya sejak pengambilalihan RSF, menurut PBB, dengan para saksi dan kelompok hak asasi manusia melaporkan kasus-kasus “eksekusi kilat”, kekerasan seksual, dan pembunuhan massal warga sipil.
RSF kini mendominasi wilayah Darfur barat yang luas dan sebagian wilayah selatan negara itu, sementara militer menguasai wilayah utara, timur, dan tengah di sepanjang Sungai Nil dan Laut Merah.
Sejak 15 April 2023 Sudan menyaksikan pertempuran sengit antara RSF yang dipimpin Muhammad Hamdan Dagalo dan militer Sudan.
Pada Maret lalu, militer Sudan mengumumkan pembebasan penuh Ibu Kota Khartoum dari kendali RSF. Namun, pada awal April RSF menggencarkan serangan di wilayah barat dan selatan Sudan terutama di Darfur dan Kordofan dan mengumumkan pembentukan pemerintahan sendiri di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
‘Kuburan Massal’ Laporan Laboratorium Penelitian Kemanusiaan (HRL) universitas AS tersebut mengatakan telah menemukan bukti yang konsisten dengan “aktivitas pembuangan jenazah”.
Laporan tersebut mengidentifikasi “setidaknya dua lubang tanah yang konsisten dengan kuburan massal di sebuah masjid dan bekas Rumah Sakit Anak”.
Laporan tersebut juga mencatat munculnya parit-parit sepanjang beberapa meter, serta hilangnya gugusan benda yang konsisten dengan jenazah di dekat rumah sakit, masjid, dan bagian lain kota – yang menunjukkan bahwa jenazah yang diletakkan di sekitar area tersebut kemudian dipindahkan.
“Pembuangan atau pemindahan jenazah juga terpantau di Rumah Sakit Al-Saudi dalam citra satelit,” kata laporan tersebut.
Perang di Sudan, yang meletus pada April 2023, telah mempertemukan militer dengan kelompok yang dipimpin oleh mantan wakil al-Burhan, komandan RSF Mohammed Hamdan Daglo, yang juga dikenal sebagai Hemedti.
Kedua pihak yang bertikai telah dituduh melakukan kejahatan perang.
Dalam laporan September, Dewan Hak Asasi Manusia PBB menuduh kedua belah pihak melakukan pembunuhan di luar hukum, serangan skala besar terhadap warga sipil, dan penyiksaan. Dewan tersebut juga melaporkan “sejumlah besar” bukti kekerasan seksual yang terutama dilakukan oleh anggota RSF dan tentara Sudan.
Para peneliti di Universitas Yale mengatakan dalam sebuah laporan pada Kamis bahwa citra satelit baru telah mendeteksi aktivitas yang “konsisten dengan kuburan massal” di kota tersebut.
RSF Setuju Gencatan Senjata dengan Pemerintah Sudan
sekilas.co – PASUKAN pemberontak Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Sudan mengumumkan sepakat melaksanakan gencatan senjata kemanusiaan dengan pasukan pemerintah sebagai bagian dari inisiatif yang diusulkan Amerika Serikat, Uni Emirat Arab (UAE), Arab Saudi dan Mesir.





