Forum untuk kaum muda Indonesia (Forum for Young Indonesians/FYI) semakin gencar menggalang dukungan masyarakat untuk menolak obesitas pada anak. Salah satu kegiatan mereka adalah diskusi bertema ‘Anak Berhak Minum Sehat’ yang digelar di Tebet Ecopark, Jakarta Selatan, pada Sabtu lalu.
FYI, yang dikelola oleh Pusat Inisiatif Pembangunan Strategis Indonesia (CISDI), mengundang sekitar 50 pengunjung bersama anak anak mereka untuk membahas risiko kesehatan akibat konsumsi gula berlebih.
Diskusi tersebut menghadirkan berbagai pemerhati anak, termasuk dokter spesialis anak Natharina Yolanda, Ketua Umum Forum Warga Kota Ari Subagyo, Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sri Wahyuni, serta AyahASI Shafiq Pontoh.
Pemimpin proyek kebijakan pangan CISDI, Calista Segalita, menyampaikan bahwa berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2007 dan 2018, angka obesitas di Indonesia meningkat dua kali lipat.
“Data Riskesdas 2007 menunjukkan angka obesitas sekitar 10,5 persen, sementara pada 2018 meningkat menjadi 21,8 persen. Jadi ada peningkatan dua kali lipat,” ujar Calista.
Kenaikan prevalensi obesitas ini juga mendorong diabetes menjadi salah satu penyakit dengan angka kematian tertinggi di Indonesia. Calista menambahkan, obesitas menjadi faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti diabetes.
“Pada 2009, diabetes berada di peringkat ke-9 penyebab kematian, sementara pada 2019 sudah naik ke peringkat ketiga,” kata Calista.
Meski data ini bersifat umum dan tidak hanya khusus anak anak, FYI menilai perlu adanya advokasi pemerintah, salah satunya melalui penerapan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
“Agar anak anak tidak ikut berisiko diabetes, kami ingin mengajak semua pihak mendorong pemerintah mengenakan cukai untuk MBDK sebagai bentuk komitmen nyata melindungi masyarakat dari praktik produksi dan pemasaran yang berbahaya,” ujar Calista.
Shafiq Pontoh mendukung kebijakan cukai karena dapat menjadi alasan menolak membeli minuman tinggi gula akibat kenaikan harga. Namun, ia menekankan edukasi mengenai kebiasaan mengonsumsi gula berlebih lebih efektif terlebih dahulu.
“Tujuannya agar terbentuk kesadaran bahwa minuman tinggi gula bukan gaya hidup yang keren,” kata Shafiq.
Ia menyarankan FYI memproduksi lebih banyak video edukasi tentang gaya hidup sehat agar pesan ini tersebar di berbagai kelompok keluarga.
“Unsur gaya hidup ini perlu didorong, sehingga gerakan ini memiliki basis pendukung sendiri. Dengan begitu, masyarakat bisa menolak produk tinggi gula karena menyadari dampaknya bagi kesehatan,” lanjut Shafiq.
Dokter Natharina Yolanda menambahkan, untuk menciptakan dampak sosial terhadap produk berisiko, harus ada strategi selain menaikkan harga.
“Setiap orang perlu dilibatkan dalam perubahan pola konsumsi minuman tinggi gula, sehingga bisa berperan di lingkungannya masing masing,” kata Natharina.
Sebagai dokter, Natharina fokus pada konseling kesehatan orang tua untuk mencegah anak mengonsumsi minuman tinggi gula.
Calista menekankan bahwa penerapan cukai tidak harus dilakukan sekaligus, melainkan secara bertahap. Tujuan advokasi ini adalah melindungi hak atas kesehatan dan akses masyarakat terhadap pangan yang layak.
“Selain riset dan advokasi, kami juga melakukan kampanye publik seperti cek kesehatan, konseling gizi, serta pelibatan anak muda, agar hak atas kesehatan dan akses pangan terjamin,” ujar Calista.
Namun, advokasi di akar rumput tidak selalu mulus. Ketua Forum Warga Kota Ari Subagyo menyebut survei di wilayah Jakarta Timur menunjukkan 77 persen responden menilai MBDK tidak menyehatkan, tetapi 58 persen lainnya tetap menganggapnya berguna untuk mengatasi lelah, menggantikan ASI, atau menyegarkan tubuh.
Karena itu, Ari menekankan pentingnya instrumen cukai untuk mengendalikan konsumsi minuman manis.
Calista menambahkan, penerapan cukai MBDK dapat menurunkan pembelian minuman manis serta mendorong reformulasi produk menjadi lebih rendah gula.
“Dalam jangka panjang, cukai MBDK berperan menurunkan obesitas, diabetes, dan risiko kesehatan lainnya, seperti yang diterapkan di lebih dari 40 negara,” jelas Calista.
CISDI bersama YLKI dan FAKTA terus mendorong pemerintah memberlakukan cukai MBDK sebesar 20 persen. Melalui petisi yang telah ditandatangani sekitar 16 ribu orang, mereka juga menuntut regulasi pelabelan informasi gizi yang lebih tegas.
Sri Wahyuni dari YLKI menekankan, tidak ada panduan jelas mengenai jumlah kemasan yang boleh dikonsumsi per hari, padahal anak anak berisiko mengonsumsi lebih dari satu kemasan.





