Faktor di Balik Demo yang Berubah Jadi Kerusuhan dan Penjarahan

foto/istimewa

Biasanya Senin pagi menjadi momen tersibuk di Jakarta, namun pada 1 September 2025 suasananya terasa berbeda. Jalanan ibu kota terlihat lebih lengang dari biasanya.

Dari arah Pasar Rebo, Cililitan, Matraman, Tugu Proklamasi hingga Bundaran Hotel Indonesia, arus kendaraan tampak longgar. Meski sejumlah lampu lalu lintas tidak berfungsi, para pengendara tetap bisa saling mengatur dengan tertib dan bergantian melintas.

Baca juga:

Kondisi serupa juga terlihat di ruas Sudirman Thamrin yang biasanya padat. Hanya sesekali terlihat patroli Brimob dengan motor trail, diiringi kendaraan berpelat TNI yang menyusuri jalan.

Pemandangan ini menggambarkan situasi terkini Jakarta usai rangkaian demonstrasi yang berlangsung sejak 25 hingga 30 Agustus lalu.

Di berbagai daerah di Indonesia, demonstrasi yang terkonsentrasi berubah menjadi kerusuhan dengan pembakaran gedung parlemen serta fasilitas umum. Sejumlah massa juga menjarah berbagai aset di dalamnya.

Tak hanya itu, rumah rumah pejabat turut menjadi sasaran. Hampir seluruh perabotan hingga barang-barang pribadi ikut dijarah. Beberapa aksi bahkan berujung menelan korban jiwa.

Belakangan mencuat dugaan adanya aksi yang ditunggangi. Republika melaporkan indikasi keterlibatan kelompok terorganisir dalam perusakan dan penjarahan.

Menanggapi hal itu, Presiden Prabowo Subianto menilai demonstrasi telah menunjukkan gejala pelanggaran hukum yang serius.
“Bahkan ada yang mengarah kepada makar dan terorisme,” ujarnya pada Minggu (31/8).

Presiden kemudian memerintahkan Polri dan TNI untuk mengambil langkah tegas.
“Saya instruksikan agar dilakukan tindakan setegas tegasnya terhadap setiap bentuk perusakan fasilitas umum, penjarahan rumah pribadi, maupun sentra ekonomi, sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tegasnya.

Ketua Umum Partai Gerindra itu juga menegaskan bahwa pemerintah tetap menghormati aspirasi yang disampaikan secara damai, selama tidak melanggar hukum.

Namun, di sisi lain, sejumlah unggahan di media sosial justru mendorong aksi yang berpotensi menimbulkan kerusuhan dan penjarahan.

Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, peredaran hoaks di platform media sosial maupun layanan pesan instan kian meningkat.

Ketua Umum Partai Gerindra itu menegaskan bahwa pemerintah akan tetap menghormati aspirasi masyarakat selama disampaikan secara damai dan tidak bertentangan dengan hukum.

Meski demikian, berbagai unggahan di media sosial masih beredar dengan ajakan yang mengarah pada kerusuhan dan penjarahan.

Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) melaporkan bahwa peredaran hoaks di media sosial maupun aplikasi pesan instan terus mengalami peningkatan.

Misalnya, beredar video kerusuhan di Baghdad yang diklaim sebagai peristiwa di Jakarta, serta kabar penjarahan di Gedung DPR dan Mal Atrium Senen.

“Bahkan, sebagian hoaks itu memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI) berupa deepfake, sehingga publik sulit membedakan kebenarannya dan akhirnya banyak yang terkecoh,” ujar Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, dalam keterangan tertulis.

Apa pemicu demonstrasi?
Peneliti politik dari PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, menilai demonstrasi yang pecah sejak 25 Agustus bukanlah peristiwa spontan, melainkan akumulasi dari keresahan publik yang telah menumpuk lama.

Menurutnya, ada rangkaian kejadian yang memicu gelombang protes berhari-hari. Di antaranya, Presiden Prabowo yang memberi tanda kehormatan kepada sejumlah pejabat di lingkarannya    termasuk figur yang pernah tersangkut kasus korupsi    hingga sorotan tajam pada besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR yang menembus Rp100 juta di tengah keluhan masyarakat soal ekonomi.

Tak hanya itu, sejumlah pernyataan kontroversial dari anggota parlemen semakin memicu polemik dan kemarahan warganet di media sosial.

Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat ikut memengaruhi daerah, terutama yang selama ini bergantung pada transfer dana pusat. Untuk menutup kekurangan, sejumlah pemerintah daerah menaikkan pungutan pajak kepada warganya.

Kebijakan tersebut memicu aksi protes di Kabupaten Pati dan beberapa wilayah lain.

“Negara tidak lagi berpihak, melainkan berpesta di atas penderitaan rakyat. Ketika ruang aspirasi ditutup dan harga kebutuhan pokok melambung, rakyat tak lagi bisa mengandalkan saluran formal. Mereka memilih turun ke jalan,” kata Virdika.

Namun, demonstrasi yang semula memiliki tuntutan jelas lambat laun bergeser arah.

“Ada lapisan lain yang sulit dijelaskan hanya sebagai luapan kemarahan sipil,” tambahnya.

Spekulasi dari kejanggalan aksi

Sejumlah peristiwa dalam demonstrasi memunculkan tanda tanya, mulai dari penjarahan rumah pejabat, pembakaran halte, hingga penggunaan bom molotov.

Dari kejanggalan itu, berbagai spekulasi pun bermunculan di media sosial. Salah satu yang paling mencolok ialah penjarahan yang terjadi dua kali di rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro tanpa pengamanan memadai.

“Publik pasti menangkap hal itu. Jika figur sekelas Sri Mulyani bisa dijarah tanpa perlindungan, maka wajar muncul pertanyaan: siapa yang mengatur, siapa yang membiarkan, dan siapa yang diuntungkan?” ujarnya.

Menurut Virdika, pola kerusuhan dan penjarahan ini bukan fenomena baru. Ia menyinggung peristiwa Mei 1998, ketika muncul kelompok tak dikenal yang bergerak di luar tuntutan masyarakat.

“Motifnya bisa beragam. Mulai dari menciptakan alasan intervensi, mendiskreditkan gerakan sipil, hingga membuka ruang bagi aktor-aktor yang selama ini berada di pinggir kekuasaan,” ujarnya.

Ia menambahkan, berbeda dengan Mei 1998, kerusuhan kali ini diduga diarahkan untuk menggeser narasi utama.

“Tujuannya agar suara rakyat tenggelam di balik asap dan pecahan kaca, memberi alasan negara bertindak lebih keras, sekaligus membekukan ruang sipil atas nama ketertiban,” ujarnya.

Ia juga menyatakan kekhawatirannya bahwa tuduhan makar dan terorisme dari presiden bisa dijadikan legitimasi untuk melakukan represi.

Aksi Hari Ini
Meski demikian, demonstrasi dengan tuntutan jelas tetap berlanjut di sejumlah kota, mulai dari Padang, Jakarta, Bandung, Palopo, hingga Ambon pada Senin (1/9).

Di Jakarta, ratusan mahasiswa yang menamakan diri Gerakan Bersama Rakyat (Gemarak) menggelar aksi di depan gedung DPR. Dalam orasinya, mereka menuntut pembebasan ratusan demonstran yang ditahan, reformasi kepolisian, serta pengesahan RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat.

Vatov dari Front Mahasiswa Nasional menegaskan, pihaknya menuntut pengusutan tuntas kematian Affan Kurniawan serta penindakan terhadap pelakunya.

Ia menambahkan, mahasiswa akan terus turun ke jalan karena masyarakat masih menghadapi persoalan serius, mulai dari biaya pendidikan yang kian mahal hingga ketiadaan jaminan lapangan kerja.

“Karena itulah kami tetap melanjutkan aksi,” ujarnya.

Sementara itu di Bandung, mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus membakar ban di depan pagar DPRD Jawa Barat.

“Kami menghargai pidato Presiden Prabowo Subianto, dan hadir di sini untuk mengawal agar pidato itu benar benar diwujudkan,” kata Amanda Rinjani, seorang mahasiswi yang ditemui di lokasi aksi.

Presiden Prabowo pada Minggu (31/08) menggelar pertemuan dengan seluruh ketua umum partai politik di Istana.

Dalam pertemuan itu, Prabowo menegaskan bahwa para ketua umum parpol telah mengambil langkah tegas terhadap anggota DPR yang melakukan kesalahan, mulai dari pencabutan keanggotaan, penghapusan sejumlah fasilitas, hingga penghentian sementara kunjungan kerja ke luar negeri.

“Mulai Senin, 1 September 2025, langkah tersebut akan diberlakukan terhadap anggota DPR yang menyampaikan pernyataan keliru,” ujar Prabowo.

Ia menambahkan, pimpinan DPR juga berkomitmen mencabut beberapa kebijakan internal, termasuk besaran tunjangan anggota dewan serta moratorium perjalanan dinas luar negeri.

“Ketua umum partai sudah menindak tegas, bahkan sampai pada pencabutan keanggotaan DPR RI,” tegasnya.

Presiden Prabowo menegaskan pentingnya para wakil rakyat untuk peka terhadap aspirasi masyarakat dan selalu mengutamakan kepentingan publik.

Ia juga mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak yang dijamin oleh undang undang maupun instrumen internasional, selama disampaikan secara damai.

“Anggota DPR harus senantiasa berpihak kepada rakyat. Kami menjunjung tinggi kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam United Nations International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 19 serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Aspirasi dapat disampaikan secara damai,” ujar Presiden.

Meski begitu, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang beranggotakan belasan organisasi pro demokrasi menilai pidato terbaru Presiden Prabowo justru menunjukkan “ketidakmampuan memahami dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang.”

Kegaduhan yang muncul bukan sekadar soal pernyataan kontroversial anggota parlemen yang berujung pada penonaktifan, melainkan juga mencerminkan masalah yang lebih mendalam.

Koalisi mencatat sejumlah persoalan utama, seperti:

  • Pemborosan anggaran dan praktik korupsi untuk kepentingan pejabat di tengah penderitaan rakyat.

  • Skema gaji dan tunjangan pejabat negara, anggota DPR, serta direksi dan komisaris BUMN yang dinilai berlebihan dan jauh dari rata rata pendapatan masyarakat.

  • Kebijakan anggaran, efisiensi, hingga perpajakan yang dianggap semrawut dan justru menekan rakyat, ditambah perampasan serta perusakan ruang hidup melalui proyek pemerintah maupun investasi.

Koalisi menilai langkah yang ditawarkan pemerintah tak lebih dari “solusi palsu dan menyesatkan.”

Dalam keterangan tertulis yang disampaikan Direktur YLBHI, M. Isnur, koalisi menilai Presiden tidak menunjukkan koreksi maupun instruksi yang jelas untuk menjamin kebebasan berekspresi sesuai standar HAM, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

“Presiden juga tidak menyinggung tuntutan rakyat terkait reformasi Polri sebagai syarat mutlak bagi perubahan penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat,” ujar Isnur.

Sebaliknya, Prabowo dinilai justru membuka ruang represi dengan menyebut demonstran sebagai pelaku makar dan terorisme. “Pernyataan itu berbahaya bagi keselamatan bangsa dan nyawa rakyat Indonesia,” tambahnya.

Koalisi menegaskan seharusnya Presiden membentuk Tim Independen yang dipimpin Komnas HAM, serta melibatkan lembaga independen, pakar, dan perwakilan masyarakat sipil untuk mengungkap dugaan kekerasan dan kerusuhan yang terjadi.

Artikel Terkait