sekilas.co – Google dikabarkan berinvestasi dengan menandatangani perjanjian untuk mendukung pengembangan pembangkit listrik tenaga gas di Illinois, AS, yang dikenal sebagai Broadwing Energy Center, untuk menyediakan energi bagi pusat datanya.
Pembangkit listrik ini direncanakan dilengkapi dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), yang dirancang untuk menyaring karbondioksida dari emisi cerobong asap dan menyimpannya di bawah tanah agar gas rumah kaca tidak menumpuk di atmosfer.
Dilaporkan The Verge pada Jumat, secara teori teknologi ini dapat membantu planet ini agar tidak memanas melewati ambang batas, yang berisiko membuat komunitas pesisir tidak dapat dihuni dan mematikan terumbu karang di laut, di antara dampak lain yang disebabkan perubahan iklim.
Meski demikian, banyak pihak masih meragukan efektivitas CCS, terutama terkait kelayakan teknis dan biaya pendanaannya.
Selain itu, CCS juga diragukan sebagai solusi karena banyak pihak mempertanyakan apakah teknologi ini justru akan memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar fosil daripada mendorong transisi ke sumber energi berkelanjutan seperti tenaga surya dan angin.
Google menyatakan telah sepakat untuk membeli “sebagian besar” energi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik 400MW baru di Broadwing setelah mulai beroperasi pada 2030.
“Tujuan kami adalah membantu menghadirkan solusi CCS baru yang menjanjikan ke pasar, sekaligus belajar dan berinovasi dengan cepat,” demikian pernyataan Google dalam pengumumannya hari ini.
Sejauh ini, CCS memiliki rekam jejak yang cukup berliku di AS. Departemen Energi AS (DOE) telah mengeluarkan ratusan juta dolar untuk proyek-proyek CCS yang gagal, menurut laporan 2021 dari Kantor Akuntabilitas Pemerintah.
Dari hampir 684 juta dolar AS (sekitar Rp11,3 triliun) yang diinvestasikan pada proyek-proyek CCS di enam pembangkit listrik tenaga batu bara, hanya satu proyek yang berhasil beroperasi. Proyek-proyek lainnya menghadapi “faktor-faktor yang memengaruhi kelayakan ekonomi mereka,” menurut laporan lembaga audit tertinggi AS (GAO).
Biaya listrik dari pembangkit yang dikombinasikan dengan penangkapan karbon setidaknya 1,5 hingga 2 kali lebih tinggi dibandingkan biaya listrik dari pembangkit tenaga surya, angin, atau batu bara dan gas tradisional tanpa CCS, menurut laporan 2023 yang merujuk pada fasilitas di Australia.
Satu-satunya proyek CCS yang berjalan di AS dengan dukungan Departemen Energi mulai beroperasi pada 2017, sebelum kemudian berhenti selama beberapa tahun mulai 2020, ketika pandemi COVID-19 membuat harga minyak anjlok.
Proyek ini sangat sensitif terhadap harga minyak karena pembangkit listriknya membakar batu bara dan memasok karbondioksida yang ditangkap ke proyek “enhanced oil recovery”, yaitu proses menyuntikkan karbondioksida ke dalam tanah untuk mengekstrak cadangan minyak yang sulit dijangkau, sebagai cara agar proyek tetap bertahan secara finansial.
Meski demikian, keputusan Google untuk mendukung proyek pembangkit listrik tenaga gas baru ini diambil karena karbondioksida akan disimpan satu mil di bawah tanah dalam sumur dekat pembangkit, alih-alih dijual untuk meningkatkan perolehan minyak.
Google mengklaim bahwa Broadwing akan mampu menyimpan sekitar 90 persen emisi karbondioksida yang dihasilkan pembangkit secara permanen, angka yang lebih tinggi dibandingkan banyak proyek CCS lainnya hingga saat ini.
Meski demikian, keputusan ini tampaknya tidak mempertimbangkan isu lain yang terkait dengan pembangkit listrik berbahan bakar gas.
Meskipun industri lebih suka menyebutnya sebagai “gas alam”, pembangkit listrik ini terutama membakar metana, gas rumah kaca yang bahkan lebih berbahaya daripada karbondioksida.
Metana kerap bocor dari sumur serta pipa minyak dan gas, sebuah masalah yang tidak bisa diatasi hanya dengan menangkap karbondioksida dari pembangkit listrik.
Selain itu, pembangkit listrik berbahan bakar gas juga menghasilkan polutan udara lain yang menimbulkan risiko kesehatan bagi masyarakat sekitar.





