Matahari yang biasanya terbit dari timur dan terbenam di barat adalah rutinitas yang bisa kita saksikan setiap hari. Namun, apa yang terjadi jika arah itu tiba tiba berubah?
Belakangan, sebuah unggahan di Facebook sempat viral, menyebut bahwa matahari akan terbit dari barat. Unggahan berbahasa Thailand yang muncul sejak 14 Januari 2021 itu mengklaim bahwa fenomena tersebut terjadi karena perputaran Bumi yang berlawanan arah.
Menanggapi klaim ini, NASA menegaskan bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan prediksi terkait matahari terbit dari barat.
Matahari di Venus terbit dari barat karena planet ini berotasi dari timur ke barat atau searah jarum jam. Sebagian besar planet di tata surya berputar seperti Bumi, mengikuti arah pergerakan matahari, kecuali Venus dan Uranus, yang arahnya berlawanan.
Hipotesis populer menyebutkan bahwa rotasi Venus dan Uranus awalnya sama dengan Bumi, sehingga matahari dulu terbit dari timur. Namun, tabrakan dengan benda besar mungkin planet lain diperkirakan mengubah arah rotasinya.
Beberapa penelitian mencoba menjelaskan fenomena ini. Jurnal yang dipublikasikan pada 2021 menyebut bahwa rotasi Venus, yang awalnya seperti Bumi, melambat secara bertahap hingga nyaris statis sebelum akhirnya berbalik arah, seperti dilaporkan Science Alert pada 2016.
Rotasi lambat ini membuat satu hari di Venus setara 243 hari Bumi, sementara waktu revolusinya mengelilingi matahari hanya 225 hari, lebih cepat daripada Bumi yang 365 hari.
Hingga kini, alasan pasti mengapa matahari terbit dari barat di Venus belum sepenuhnya diketahui. Begitu pula kemungkinan fenomena serupa terjadi di Bumi, yang menurut NASA dan lembaga ilmiah lain, tidak pernah diprediksi.
Meski begitu, beberapa ilmuwan mencoba mensimulasikan kondisi jika matahari terbit dari barat di Bumi. Florian Ziemen, co-creator simulasi dan tim dari Max Planck Institute for Meteorology, Jerman, menyebutkan bahwa secara umum Bumi akan menjadi lebih hijau. Pola angin, suhu, dan musim pun akan berubah mengikuti arah baru matahari terbit.
“Simulasi ini dilakukan dengan membalik rotasi Bumi, sambil mempertahankan karakteristik utama topografi, termasuk ukuran dan posisi benua serta samudra, sehingga tercipta kondisi baru bagi interaksi sirkulasi dan topografi,” kata Ziemen, seperti dilansir Livescience pada April 2018.
Hasil simulasi menunjukkan, selain Bumi menjadi lebih hijau, luas gurun global menyusut dari 16 juta mil menjadi 12 juta mil. Separuh bekas gurun tersebut dipenuhi rerumputan, sementara sisanya ditumbuhi tanaman berkayu.
Tak hanya itu, gurun baru muncul di wilayah Amerika Serikat bagian tenggara, Brasil, Argentina, dan China utara.
“Melihat Sahara menghijau dalam model kami membuat saya berpikir tentang alasan keberadaan gurun Sahara saat ini, dan kenapa dulu tidak ada saat matahari terbit dari barat. Pemikiran mendasar ini membuat saya terpesona dengan proyek ini,” ujar Ziemen.





