Dalam setiap konflik termasuk unjuk rasa korban pertama yang biasanya tumbang adalah kepastian. Kepastian tentang apa yang benar-benar terjadi sangat dibutuhkan publik untuk menentukan langkah: ikut serta atau menjauh? Apa pun pilihannya, selalu ada kebutuhan untuk mempersiapkan diri. Hal serupa terjadi pada aksi unjuk rasa yang puncaknya menggejala sejak 25 Agustus lalu. Memang sebelumnya sudah ada aksi di sejumlah kota, tetapi gaungnya tidak sebesar yang muncul di penghujung Agustus. Hingga tulisan ini dimuat, atmosfer panasnya masih terasa, seolah energi itu bisa sewaktu waktu menyala kembali atau benar benar mereda.
Kepastian kembali goyah dalam unjuk rasa 2025. Dibanding peristiwa 1998, kini dinamika dipengaruhi kuat oleh media sosial baik dari sisi produksi, distribusi, maupun konsumsi informasi. Menurut data We Are Social 2025, lebih dari 143 juta pengguna media sosial di Indonesia terlarut dalam arus digital ini. Ironisnya, meski informasi berlimpah, justru semakin sulit memastikan kebenaran. Paradoks ini kian nyata ketika sebuah kampus yang semula mengumumkan rencana aksi melalui poster digital lengkap dengan atribut penyelenggara mendadak membatalkannya. Antusiasme publik pun surut. Namun tak lama, unggahan lain dari kampus tersebut memperlihatkan aksi tetap berjalan, meski dengan peserta lebih sedikit. Ternyata, kabar pembatalan hanyalah informasi palsu yang berhasil meredam dukungan. Hal sederhana seperti kepastian jadi atau tidaknya aksi pun kini semakin sulit didapat. Informasi melimpah, tapi kepastian justru menipis.
Ketidakpastian yang muncul akibat derasnya arus informasi bisa disamakan dengan fenomena infodemi. Istilah ini gabungan dari kata informasi dan pandemi awalnya digunakan dalam konteks kesehatan. Menurut definisi World Health Organization (WHO), infodemi terjadi ketika informasi yang beredar sangat banyak selama sebuah wabah, sehingga membuat masyarakat bingung dan bahkan terdorong melakukan tindakan berisiko. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh David Rothkopf, pakar kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS, saat menanggapi wabah SARS 2002 2004. Pada masa itu, informasi yang membanjiri ruang digital maupun analog termasuk yang palsu dan menyesatkan justru memperburuk situasi.
Jika konsep infodemi ditarik ke konteks unjuk rasa, syarat syaratnya tampak relevan. Pertama, arus informasi yang melimpah. Walau tidak ada angka pasti, peningkatannya jelas terasa. Pada unjuk rasa 2025, informasi mudah ditemukan: mulai dari kabar soal aksi itu sendiri, ajakan untuk ikut serta dengan aman, fasilitas kesehatan bagi peserta yang terluka, posko dukungan logistik, isi tuntutan, hingga respon pihak yang menjadi sasaran protes. Bahkan, langkah langkah institusi keamanan selama aksi pun cepat menyebar.
Informasi yang biasanya tidak muncul saat kondisi normal, mendadak bermunculan ketika unjuk rasa terjadi. Situasi ini semakin ramai dengan analisis para pengamat di luar arena, terutama ketika ada kejadian luar biasa. Misalnya, wafatnya Affan Kurniawan akibat tertabrak kendaraan aparat, atau penjarahan rumah anggota legislatif dan menteri, langsung melipatgandakan jumlah informasi yang beredar. Lonjakan produksi dan distribusi ini juga meningkatkan konsumsi informasi publik.
Namun, di tengah derasnya arus informasi, terselip kabar palsu dan menyesatkan. Kata terselip memberi kesan ketidaksengajaan, tapi dalam konteks unjuk rasa, informasi palsu seringkali diciptakan dengan tujuan tertentu. Jumlah dan distribusinya disesuaikan dengan kepentingan pihak pihak tertentu. Bentuknya bisa beragam, misalnya konten yang mengabarkan kebakaran di rumah seorang menteri, padahal faktanya itu adalah kebakaran di Bekasi tahun 2023. Atau, pesan palsu yang dihasilkan lewat teknologi deepfake, seperti rekaman suara atau video seorang tokoh publik yang ternyata sepenuhnya manipulatif.
Tujuan utama dari informasi palsu ini adalah membingungkan publik. Salah satu caranya adalah melalui framing atau pembingkaian pesan. Misalnya, kabar palsu soal kebakaran rumah menteri dibingkai sebagai bukti bahwa unjuk rasa berujung anarkis. Efeknya, simpati publik bisa berubah menjadi kecaman, sekaligus menjadi legitimasi bagi tindakan represif aparat. Padahal, tujuan awal unjuk rasa adalah memperjuangkan perubahan.
Taktik penyesatan lain dilakukan dengan pendekatan dikotomi biner: cinta versus benci, baik versus buruk, teman versus musuh, atau rakyat versus pejabat. Pola ini menyederhanakan kompleksitas realitas dan menggiring publik memilih secara emosional, bukan rasional. Misalnya, ketika framing yang muncul adalah “pejabat kaya harus dibenci rakyat miskin.” Padahal, tidak semua pejabat kaya dan tidak semua rakyat miskin. Namun simplifikasi semacam ini cepat menggerakkan emosi massa.
Sifat dikotomis itu selaras dengan prinsip kerja media sosial berbasis digital: 0 dan 1, hitam dan putih, tanpa ruang abu abu. “Cinta tapi benci” atau “setengah kaya” tak dikenal dalam realitas digital. Akibatnya, nalar publik yang sebelumnya bisa mempertimbangkan banyak aspek justru direduksi oleh logika biner ini, lalu diperkuat oleh keramaian informasi di media sosial.
Kebingungan yang lahir dari dominasi emosi ini mendorong perilaku berisiko. Pada unjuk rasa 2025, misalnya, media sosial menampilkan masifnya aksi penjarahan rumah pejabat, yang sebelumnya telah dibingkai sebagai simbol pihak yang pantas dibenci. Padahal jika dipikirkan secara rasional, sulit membayangkan massa yang menuntut perbaikan nasib memilih jalan ilegal yang merusak dan menjarah.
Kebingungan juga muncul di kalangan peserta unjuk rasa sendiri: apakah harus melanjutkan aksi atau menghentikannya? Tuntutan belum dipenuhi, tapi informasi yang beredar termasuk framing bahwa aksi telah ditunggangi kepentingan tertentu membuat situasi semakin ragu. Jika aksi diteruskan, ada risiko dicap sebagai perusuh. Jika dihentikan, perjuangan yang sudah menelan pengorbanan berisiko sia sia.
Dari ketiga kondisi ini, jelas terlihat ciri ciri infodemi dalam unjuk rasa. Algoritma media sosial yang terus membanjiri layar membuat masyarakat kehilangan jeda untuk menimbang informasi dengan jernih. Akibatnya, publik semakin bingung: mana informasi yang nyata, mana yang palsu?
Dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan adalah jeda. Dengan mengambil jarak dari arus informasi digital dan kembali menyerap informasi dari lingkungan nyata rumah, kampus, atau tempat kerja publik bisa kembali menggunakan pertimbangan rasional. Walaupun informasi analog juga bisa keliru, setidaknya ia tidak sepenuhnya didikte algoritma atau framing kepentingan tertentu. Rasionalitas yang pulih inilah yang dapat membantu meredam infodemi yang tengah melanda.




